NOVOTEL JAMBI
Candi Tinggi, salah satu candi yang telah selesai di renovasi.
Tercantum dalam catatan perjalanan I-Tsing, seorang Pendeta Buddha pengembara dari Tiongkok pada masa kejayaan Dinasty Ming (abad VII - IX Masehi), tentang suatu tempat peribadatan yang dikunjunginya di Kerajaan Sriwijaya ketika itu. Tempat peribadatan itu terletak di tepi sungai, dikelilingi saluran air buatan, dihuni ribuan biksu / biksuni yang sedang belajar. Tempat itu dapat diibaratkan sebagai komplek Perguruan Tinggi lengkap dengan asrama mahasiswa zaman sekarang.
Pasangan Jurnalis. Pemred Inside Sumatera Magazine, Tikwan Raya S. beserta isteri liputan ke Candi Muaro Jambi. Uraian mengenai candi ini dapat dibaca pada Majalah Inside Sumatera edisi Mei 2010, dan Inside Sumatera.com.
Para arkeolog dan sejarawan dunia menyimpulkan, tempat yang dimaksud dalam catatan I-Tsing itu adalah Candi Muari Jambi, suatu lokasi percandian seluas 12 kilometer persegi, di Kecamatan Muaro Sebo, Kab. Muaro Jambi, Propinsi Jambi, sekitar 40 kilometer sebelah timur Kota Jambi.
Dengan 9 candi besar (
Candi Kotomahligai,
Kedaton,
Gedong Satu,
Gedong Dua,
Gumpung,
Tinggi,
Telago Rajo,
Kembar Batu, dan
Candi Astano) dan puluhan candi kecil, lapangan-lapangan upacara, arca-arca dan altar tempat persembahan, sudah cukup menggambarkan betapa ramainya tempat itu dahulu kala. Artefak dan keping-keping mata uang yang ditemukan dan tersimpan rapi dalam balairung candi, menunjukkan bahwa pengunjung datang dari berbagai belahan dunia, dari berbagai latar belakang budaya.
Tapi begitulah situs purbakala. Daya tariknya justru terletak pada misteri masa lalunya. Ia berada dalam ruang sejarah yang seolah-olah terputus, sehingga kita butuh penelitian rumit untuk mereka-reka kembali seperti apa ia dahulu. Telah beratus-ratus tahun Candi Muaro Jambi terbenam dalam sejarah, terpendam di bawah tanah dan ditutupi hutan belantara.
Saluran air buatan mengelilingi komplek percandian, dapat dilayari dengan perahu motor menuju sumua candi.
Saat ini, jika Anda duduk di salah satu sudut areal percandian itu, Anda dapat merenung sambil mendengarkan bisikan sejarah ratusan biksu berbaris di lapangan upacara. Atau pendeta tua berkepala plontos dengan tasbih di tangan hilir-mudik memandu kegiatan. Sebagian siswa bersemedi di suatu altar, sebagian lagi mengikuti upacara persembahan kepada dewa-dewa, sedangkan sebagian lagi sibuk latihan beladiri ‘kungfu’.
Dalam catatan I-Tsing, Candi Muaro Jambi merupakan padepokan terakhir penggemblengan calon pendeta Buddha sebelum mendaki puncak pencerahan tertinggi di utara India, pada kuil suci di kaki Pegunungan Himalaya, di suatu tempat yang dipercayai sebagai tempat lahirnya Sidharta Gautama.
(bersambung)
Stupa-stupa mengelilingi reruntuhan altar.
Jalan mulus menuju Candi Muaro Jambi. Dapat ditempuh kurang lebih 20 menit dari Kota Jambi, melalui Jembatan Batanghari-II
MBI memandang perayaan Wisak Nasional di Candi Muaro jambi bukan sebagai tandingan perayaan waisak di tempat lain tapi merupakan suatu kebhinnekaan, dan keberagaman. Karena, Candi Muaro Jambi merupakan warisan budaya yang luar biasa masa peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang tak kalah agungnya dengan Candi Borobudur dan Candi lain yang ada di Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar